Selamat Datang

Cinta Tuhan, Cinta Nusa, dan Cinta Bangsa

Kamis, 28 Januari 2010

PERKAWINAN DALAM ADAT PAKPAK

Perkawinan dalam masyarakat Pakpak termasuk dalam siklus kehidupan seseorang yang telah diatur tersendiri. Hakekat perkawinan adalah membentuk keluarga untuk mengembang-biakkan keturunan dari kelompok marga, sehingga menjadi penerus kelompoknya. Oleh karena itu bila terjadi perkawinan, maka perkawinan itu melibatkan seluruh keluarga baik dekat maupun jauh. Jadi hakekatnya merupakan ikatan yang tidak ada putusputusnya.
Dalam masyarakat Pakpak dikenal bentuk perkawinan yaitu kawin resmi, kawin mengeke, kawin mengalih, kawin mengerampas, kawin menama dan kawin mencukung. Prosesi perkawinan dimulai dengan “mengeririt”, “mengkata utang” dan diakhiri dengan upacara pernikahan yang disebut merbayo. Didalam aturannya ditentukan bahwa tidak boleh kawin dengan semarga, setiap perkawinan harus diadati, terjadi penyesuaian tutur, perpantangan-perpantangan dan lain-lain.
Perlu pula diketahui bahwa apabila seseorang mengawini seorang wanita, maka ketentuan-ketentuan pemberian (unjuken) dari pihak laki-laki pada pihak perempuan, yang menerima unjuken adalah takal unjuken, upah Turang, Todoan, Togoh-togoh/penampati, upah puhun, upah mendedah, upah Empung dan Remmen-remmen Juluan Tapiin. Sedangkan Oles (kain) yang diserahkan adalah oles Inang ni beru, oles inang peduaken, oles turang ni beru, oles puhun, oles mendedah, oles empung, oles persinabul, oles penelangkeen dan oles persintabiin.
Perlu dicatat bahwa Tokor Berru (pemberian pihak laki-laki) bisa berbentuk mas, kerbau dan lain-lain setiap pemberian harus dibalas pula oleh pihak perempuan dalam bentuk yang telah ditentukan oleh Pengetuai.

Oles Inang ni Berru

Lahir, besar lalu menikah merupakan siklus kehidupan normal. Kemudian mempunyai anak. Setelah anaknya besar tentunya menikahkannya pula. Selanjutnya lagi kalau sudah jumpa katikana kembali kepada khalikNya. Dalam kehidupan Pakpak semua siklus tadi telah diatur dalam acara ritual sesuai dengan adat istiadat kita warisan leluhur. Saat lahir misalnya ada istilah mengklembisi memberikan nakan adat oleh kula-kula berbentuk ayam mersendihi dan dari pihak berru memberikan mandar cabing. Dalam adat istiadat Pakpak tidak dikenal ulos yang konon khabarnya pertama kali diperoleh dari Balige, tenunan Balige tetapi dipakai mandar pengganti ulos yang disebut oles. Jadi jangan salah kaprah oles dalam bahasa Pakpak adalah mandar. Konon khabarnya mandar pertama kali diperoleh dari Boang, Aceh Singkil.

Dalam keluarga Pakpak seorang anak perempuan adalah asset karena akan diperoleh tokor berru (mahar, sinamot) saat dia menikah. Sering disebut juga anak perempuan itu adalah tiga-tiga. Sedangkan anak lelaki adalah liabilities, tanggung jawab maksudnya karena harus menyediakan sejumlah biaya saat dia menikah. Hmmm dipikir-pikir baik anak laki-laki maupun perempuan adalah asset sekaligus liabilities. Tetapi begitulah kita sedang berbicara adat Pakpak bukan teori accounting atau sedang bicara 4 kwadrannya the rich dad, the poor dad nya Robert T Kyosaki yang best seller itu.

Beranjak dewasa anak perempuan membantu ibunya memasak, mengambil air ke sungai atau mersebban, mencari kayu bakar ke hutan maupun ke juma. Kayu bakar selain dipakai untuk memasak juga untuk menglaslasi menghangatkan tubuh. Maklum daerah kita Pakpak Bharat amat sangat dingin sekali. Kalau sudah tendalapi di depan api unggun sambil memasak atau membakar singkong badan kita menjadi hangat, peddas bahasa Pakpaknya. Setelah anak perempuan tadi dewasa menjadi simerbaju, anak gadis maksudnya maka suatu saat tiba saatnya akan menikah. Calon kela, calon suaminya diwakili oleh persinabulnya pada saat pesta pernikahan harus membawa manuk, tebbu, lemmang, pinahpah, bellagen mbentar, kembal berisi beras pihir dan mandar sebagai oles inang ni berru. Tentunya juga membawa tokor berru yang telah disepakati pada saat merkosik berupa uang, emas atau mesin jahit. Sementara, sawah atau ladang diserahkan secara simbolik berupa pago-pago.

Kenapa harus membawa bermacam-macam perangkat diatas, masing-masing ada maksudnya dan ada cerita yang melatar belakangi. Manuk dimaksudkan agar diternakkan oleh keluarga baru agar bertelor dan berkembang biak. Setelah banyak kula-kula yang merupakan keluarga dari pihak pengantin perempuan akan datang maka manuk yang telah berkembang biak itulah dimasak sebagai lauk menyambut mereka. Tebbu, lemmang dan pinahpah dimaksudkan sebagai oleh-oleh kedua pengantin menemui seluruh pamili baru mereka namberru, nampuhun, nangampun, nantua, nantonga dan sebagainya. Tebbu diartikan agar tenggi, manis dalam penyambutan maupun bertutur sapa dan lemmang beserta pinahpah merupakan cemilan saat ngobrol menjalin keakraban. Kembal berisi beras pihir selain dipakai untuk mengkicik juga untuk memasak, khan keluarga baru belum punya ladang tentunya belum pernah panen bukan?. Nah kalau bellagen mbentar itulah tikar buat mereka tidur berbulan madu. Jangan harapkan ada kasur atau spring bad kayak sekarang. Nah bagaimana dengan oles inang ni berru ?. Oles ini berupa mandar, sarung diberikan kepada ibunya pengantin perempuan. Diserahkan dalam bentuk masih terlipat bukan dibuka untuk dioleskan. Mandar sebagai oles inang niberru dimaksudkan sebagai pengganti berrunya agar dipakai sebagai sarung menghangatkan tubuhnya. Bukankah berrunya telah dibawa pergi oleh pengantin pria?. Maka sudah tidak ada lagi yang membantunya mencari kayu bakar untuk tendalas menghangatkan tubuhnya. Agar tubuhnya tetap peddas, tetap hangat diberikanlah mandar itu oleh pihak pengantin lelaki sebagai ganti berrunya. “Enmo oles inang niberru, sai peddas mo dak tong daging dekket tendi ndene itadingken berru ndene en memasu-masu kela dkkt berru ndene”, begitu kata persinabul. Jadi oles ini bukan dioleskan memasu-masu tetapi diletakkan dipangkuannya untuk menerima pasu-pasu.

Persoalan sering timbul kalau kalak Pakpak menikahkan anaknya dengan kalak Batak Toba (Tapanuli). Dalam adat istiadat Tapanuli pihak kula-kula yang mengolessi berrunya. Ulos dimaksud merupakan ulos bukan oles mandar dibuka dan langsung dioleskan ke punggung kedua pengantin sambil memberikan pasu-pasu. Tidak dikenal istilah oles inang ni berru dalam adat istiadat Tapanuli. Tabu bagi mereka menerima ulos dari berrunya masak berru yang memberikan pasu-pasu. Ulos dalam adat Tapanuli identik dengan pasu-pasu. Menerima ulos berarti menerima pasu-pasu dan memberikan ulos sama dengan memberikan pasu-pasu. Sebenarnya persoalan tidak perlu terjadi kalau persinabul cerdas dan bijaksana menjelaskan adat istiadat Pakpak dan cerita yang melatar belakangi. Oles dalam adat Pakpak bukanlah identik dengan pasu-pasu. Memberikan oles bukan berarti memberikan pasu-pasu tetapi sebagai jalan sebagai media menerima pasu-pasu. Jadi oles inang niberru diberikan pengantin pria kepada kula-kulanya sebagai media untuk menerima pasu-pasu dari kula-kulanya bukan dimaksudkan memasu-masu kula-kulanya. Makanya oles inang niberru itu bukan ulos tetapi mandar (sarung) yang disebut oles. Oles dalam bentuk ulos pada adat Pakpak fungsinya sama memberikan pasu-pasu juga seperti pada adat Tapanuli. Makanya dalam adat Pakpak dikenal dengan oles Sadum, oles Merambu dan lain sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri perkawinan etnis Pakpak dengan Tapanuli lebih sering terjadi dibandingkan dengan etnis lain. Saran penulis walaupun kita etnis Pakpak menikahkan anak dengan etnis Tapanuli tetaplah kita tunjukkan adat istiadat kita pada saat pesta pernikahan. Tentunya dengan penjelasan cerdas dan bijaksana agar tidak terjadi kesalah pahaman. Semoga tulisan ini dapat membantu. Njuah-njuah

Paian TH Sinamo, Ir
Sembah merkula-kula merupakan kewajiban. Menunjukkan adat istiadat Pakpak adalah keharusan. Tetap tunjukkan adat istiadat Pakpak kalak kade pe kula-kulanta. Njuah-njuah